Rabu, 18 Januari 2012

Menjemput Navanita Shina


Kring…..Kring….Kring…… Aku dikagetkan dengan bunyi telpon yang ada disebelahku. Aku tidak tahu jam berapa saat itu. Segera aku angkat telpon… “Ya halo…” demikian kataku dengan suara masih agak lemah karena masih ngantuk.

“Jok…pagi ini kamu ke bandara, jemput Navanita, karena dia tidak ada yang jemput” demikian kata suara di sebeerag sana.

“Siap Mbak” aku menjawab dengan sigap

“Sekarang ya Jok, dia landing jam 7.30” lanjut suara diseberang saya

“Iya Mbak”

Telpon kemudian aku tutup kembali. Aku rebahkan lagi badanku di kasur yang empuk dan hangat. Aku raih hapeku dan ku nyalakan. Baru jam 05.20 pagi. Aku ingin tidur lagi, tapi tiba-tiba aku teringat apa yang harus aku lakukan pagi ini, yaitu menjemput Navanita, salah seorang tamu dari India. Maka akupun bergegas ke kamar mandi, untuk menyegarkan badan dan sesegera mungkin berangkat ke Bandara.

Tidak perlu waktu lama untuk mandi, karena memang aku tidak terbiasa mandi terlalu lama, kecuali lagi ingin berendam saja. Maka akupun segera berdadan dan menuju ke kamar yang tadi telpon aku untuk memastikan jenis pesawat apa dan siapa nama lengkap dari tamu yang akan aku jemput.

Setelah aku berada di ruangan, aku baru tahu bahwa tidak hanya Navanita yang akan aku jemput, tapi ada dua orang lainnya yaitu Clara dan Asmita. “Oke aku siap” demikian kataku.

Aku segera menuju ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu pastinya. Tempat sarapan masih sepi, hanya ada beberapa orang saja di sana. Mungkin karena hari masih pagi ditambah lagi udara sangat ddingin karena semalam hujan turun. Banyak orang memilih untuk bermalas-malas dulu di kamarnya, untuk kemudian sarapan dan beraktiftas.

Tidak banyak yang aku makan pagi itu. Karena tidak nafsu makan dan tentu saja aku harus bergegas menuju bandara agar bisa tepat waktu sampai di tujuan. Ditambah lagi pesawat yang digunakan oleh Navanita adalah pesawwat SQ, dimana jenis pesawat ini selalu tepat waktu, tidak pernah delay. Maka setelah makan semangkuk bubur ayam, yang itu juga tidak aku habiskan aku segera menuju ke tempat biasa pangkalan taksi. Aku coba tenggok kanan-kiri, tak ada taksi sama sekali. Begitu juga orang yang seharusnya bertugas. Setelah menunggu beberapa saat tidak ada yang bisa ditanya, maka akupun segera menuju ke meja resepsionis. Di meja ini pun aku tak menemui seorangpun. “Mungkin masih pagi” demikian pikirku. Aku harus menunggu beberapa menit untuk kemudian ada seorang resepsionis menghampiri mejanya.

“Mas kalau mau pesan taksi gimana ya”, begitu kataku ketika laki-laki itu mendekat.

“Tunggu bentar” katanya

Aku menunggu sebentar. Nampak dia memencet nomor. Setelah menunggu beberapa lama tak ada jawaban. Ia pun mencoba memencet lagi, kali ini berhasil, ada seseorang yang mengangkat telponnya.

“Ada yang mau pesen taksi”, kata resepsionis itu, yang aku tidak tahu namanya.

Aku tak tahu apa yang dikatakan seseorang diseberang sana, tapi setelah menutup telponnya, resepsionis itu bilang padaku kalau taksi sedang kosong. Agak kecewa memang.

“Terus kalau mau menunggu dimana ya”, tanyaku

“Wah kalau disini susah cari taksi mas” jawabnya.

“Oke kalu gitu, aku coba tunggu di depan saja” kataku memutuskan.

Akupun segera berbegas ke tempat tadi aku berdiri. Tidak seperti tadi, ketika aku datang untuk kedua kalinya ada seseorang yang berdiri di temat pemesanan taksi. Mungkin ini yang tadi berbicara dengan resepsionis tadi, pikirku dalam hati.

“Mas ada taksi tidak” tanyaku ketika sudah berada didepannya.

“Mau kemana ya” jawabnya

“Ke bandara” jawabku singkat.

“Tidak ada mas” jawabnya. “Ada tapi sudah dipesan, mungkin bisa mas pakai dulu, bentar ya” tambahnya.

Tiba-tiba dari arah pintu gerbang datang seseorang, supir taksi tentunya, aku mengenalinya dari seragam yang iya pakai.

“Kamu antar bapak ini saja ke bandara” kata mas yang didekatku ketika supir taksi itu mendekat.

“Yang pesanan gimana” tanyanya

“Tidak apa, nanti saya cari lagi” kata mas yang bertugas mencatat pemesanan taksi.

“Oke” katanya.

Aku pun segera mengikuti bapak supir taksi itu menuju taksinya yang dipakir diseberang jalan. Aku segera masuk dan berharap secepatnya sampai ke bandara. Maklum pesawat landing jam 07.30 dan pukul 06.15 aku masih di lokasi. Sementara jarak yang harus ditempuh sangat jauh. Boogor-Bandara Soekarno Hatta, tentu harus melalui perjalanan yang panjang bukan?

“Macet tidak ya”, tanyaku memecah kebisuan diantara kami.

“Tidak tahu pak” jawab supir itu

(obrolanku dengan sang supir akan menjadi cerita tersendiri, karena menurutku seru juga obrolan pagi itu untuk mejadi sebuah cerita)

Teryata benar, jalanan sedang tidak bersahabat, untuk menuju jalan tol saja dibutuhkan waktu lebih dari setengah jam. Aku sudah deg-degan, “kayaknya gak bisa sampai tempat waktu deh” pikirku dalam hati.

Banyak mobil lalu lalang, dan beberapa dari mobil itu adalah plat luar kota, atau yang pasti adalah plat Jakartam B. Supir pun sempat mengerutu dengan keadaan itu. Aku sedikit maklum karena memang hari masih pagi, saatnya orang beraktifitas, maka kalau jalanan sangat macet ya wajar saja.

Setelah 30 menit kemudian akhirnya taksi yang aku naiki masuk ke jalan tol juga. Tidak ada kemacetan di pintu masuk tol. Kemacetan baru terjadi ketika mobil masuk daerah Cibubur. “Ini akan sampai Cawang” kata supir taksi itu.

Aku pun mencoba bersabar, menikmati kemacetan dipagi hari. Sesekali supir taksi mengajak aku ngobrol, tapi karena aku masih agak ngantuk maka terkadang aku jawab seadanya, aku memilih memejamkan mata. Tapi kemacetan teryata tak terurai juga, hingga satu jam lebih. Setelah lewat persimpangan antara Cawang dan Tanjung Priuk, aku memutuskan lewat Tanjung Priuk saja, mengingkat tol dalam kota pasti macet sekali. Keputusanku kali ini teryata tepat, tol Tanjung Priuk tidak macet, tapi arah sebaliknya sangat macet. Maka taksi yang aku naiki bisa terus melaju menuju ke bandara.

Pukul 08.30 aku baru sampai bandara. Aku membayar 300.000 sesuai dengan argo yang ada di taksi. Secepatnya aku turun menuju terminal penjemputan. Tiba-tiba hapeku bunyi, aku segera mengangkatnya “Mas sudah ada di mana” demikian suara di seberang sana. Itu adalah suara Mas Ade, supir yang akan membawa tamu-tamuku ke tempat tujuan. “Saya baru sampai mas, nanti kalau sudah ketemu tamunya saya telpon ya” demikian ungkapku. Aku segera menutup telpon dan bergegas menuju terminal penjemputan.

Segera aku lihat jadwal penerbangan, tetapi kode pesawat yag akan aku jemput SQ 950 sudah tidak ada, yang ada hanya SQ 952 dan sedang landing. Aku berfikir bahwa jadwal yang aku terima salah, maka aku segera berdiri di pembatas dengan membawa nama Navanita Shina yang sudah aku siapkan sedari masih di hotel.

Satu jam lebih aku berdiri, tapi tidak ada tanda-tanda orang menghampiriku. Setiap ada seseorang menggunakan kain sari, aku berharap itu adalah Navanita, tapi harapanku tinggal harapan, karena hampir dua jam aku berdiri, sampai Mas Ade menghampiriku dan menemaiku menunggu Navanita, tapi tak ada juga orang yang menghampiri kami. Maka aku segera sms orang yang ada di hotel untuk menginformasikan keadaan tersebut dan berharap ada kabar dari mereka tentang keberadaan Navanita.

Walau tak kunjung ada yang menghampiriku, aku tetap bertahan dengan tulisan Navanita Shina, berharap ada seseorang yang kemudian menghampiriku dan bisa segera diantar ke tempat lokasi. Hingga akhirnya ada sms masuk di hapeku yang memberitahukan bahwa Navanita sudah sampai ke lokasi acara. Tak tanggung-tanggung tiga orang sekaligus yang memberitahukanku tentang kedatangan Navanita.

Ada sedikit rasa kesal dan lega tentunya setelah mendegar informasi itu. Maka aku segera mencari tempat duduk untuk menunggu kedatangan dua tamu selanjutnya. Maklum masih sekitar dua jam lagi pesawatnya landing.

Menunggu memang satu hal yang sangat membosankan. Tapi aku coba menikmatinya. Hingga akhirnya ada pengumuman kalau pesawat yang sedang aku tunggu sudah landing. Aku tidak mau apa yang sudah terjadi ketika menunggu Navanita terulang lagi, maka aku segera berdiri di tempat penjemputan dengan membawa nama Asmita Basu. Lagi-lagi perempuan yang aku jemput kali ini berasal dari India. Maka ketika ada seseorang menggunakan kain sari aku berharap itu adalah Asmita. Tapi tak juga ada yang menghampiriku.

Setelah satu setengah jam, akhirnya ada seseorang yang menghampiriku dan mengatakan kalau dia orang yang aku jemput. Teryata dugaanku salah, Asmita tidak menggunakan kain sari, dia berpenampilan sangat sederhana, layaknya seorang aktifis perempuan, dengan bawaan yang sudah seperlunya. Akupun segera keluar dan menemui dia. Aku sampaikan pada dia kalau masih ada satu orang lagi yang harus ditunggu. Teryata dia tidak masalah dan memutuskan menunggu di Begawan Solo sambil menikmati kopi.

Aku dan mas Ade segera ke terminal sebelah, karena memang kedatangan Clara, demikian perempuan ketiga yang harus aku jemput, tamuku yang dari Philipina, tidak sama dengan kedantangan Navanita dan Asmita. Setelah melihat jam, teryata masih ada beberapa menit lagi pesawat Clara mendarat. Maka kemudian aku putuskan untuk makan terlebih dahulu karena memang perut sudah lama. Makanan siap saji menjadi pilihan, karena memang waktu yang ada tidak banyak, maka aku dan mas Ade segera makan di KFC. 20 menit kemudian kita sudah selese maka dan segera bergegas menuju ruang penjemputan. Setelah menunggu beberapa menit, ada pengumuman bahwa pesawat yang sedang aku tunggu sudah landing. Untuk menghindari kehilangan orang yang di jemput maka akhirnya aku dan mas ade berbagi tugas, aku menunggu di sisi sebelah kanan dan mas Ade menunggu disisi sebelah kiri. Jadi kalau Clara nanti lewat sebelah kiri ada seseornag yang menunggu. Cukup lama juga menunggu Clara, sekitar satu jam dia datang dan menghampirriku. Aku segera mempertemukan Clara dan Asmita untuk segera di bawa ke lokasi.

Setelah mereka bertemu kamipun segera menuju ke mobil yang akan membawa kami ke lokasi. Aku dan mas Ade duduk di depan, sementara Clara dan Asmita di belakang. Mas Ade berharap hujan tak akan turun, karena kalau hujan turu pasti akan macet sekali. Beberapa menit kemudian kami sudah bisa keluar dari tempat pakir dan menuju jalan raya.

Perjalanan ke lokasi teryata tidak berjalan dengan lancar. Kami harus mengalami kemacetan jalanan ibu kota selama satu jam lebih. Sebenarnya aku tidak enak dengan tamu-tamu yang aku bawa, tapi apa boleh buat, jalanan sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Apalagi ketika akhirnya Asmita bertanya berapa lama lagi kita akan sampai ke lokasi, dan aku bilang sekitar satu jam lagi, dia agak sedikit mengeluh.

Dan benar, sekitar satu jam setelah lepas dari kemacetan kita sampai di hotel tempat kegiatan diselenggarakan. Clara sempat bertanya ketika melihat bagunan Istana Presiden di Bogor dan dia bertanya apakah boleh dia masuk ke sana. Aku bilang tidak yakin.

Setelah sampai di hotel aku segera menyuruh mereka untuk ke meja resepsionis dan mengantar mereka ke kamar masing-masing. Sebelumnya aku menyuruh mereka untuk makan terlebih dahulu karena aku tahu mereka semua pasti lapar karena belum sempat  makan siang. Dan ketika akan berpisah aku sampaikan untuk ketemu nanti malam diacara solidarity night.

Sedikit penyesalan kemudian terjadi adalah tidak dapat menemukan Navanita. Apalagi ketika mengetahui seperti apa sosok Navanita ini. Bahkan, direktur di kantor sempat mengatakan “Menyesal kamu tidak bertemu dengan Navanita di bandara” demikian katanya ketika ketemu denganku.

Memang benar, teryata Navanita adalah sosok yang masih sangat muda dan cantik tentunya. Secantik gadis-gadis India. Navanita selalu memakai kain sari, yang menambah kecantikannya. Disamping cantik navanita juga cerdas. Diusiaya yang baru menginjak 30 tahun, dia sudah menyadang gelar doctor. Maka tak salah kalau kecantikannya seimbang dengan kepintarannya.

Aku pun beberapa kali membidikan kameraku kearahnya, bahkan ketika dia berjodet India, aku beberapa kali memotretnya. Aku berharap foto-foto ini menjadi satu kenanganan.

Hingga malam terakhir aku sempat bertemu dengan Navanita, dimana dia baru kembali belanja, membeli beberapa oleh-oleh untuk saudara-saudaranya yang ada di India. Satu hal yang kemudian membuatku agak tercengan, kali ini dia tidak menggunakan kain sari tapi memakai kaos dan celana sangat pendek yang dipadukan dengan sepatu berhak tinggi. Menambah kecantikan tubuhnya.

Andai saja waktu itu aku berhasil menjemputnya di bandara, pasti aku bisa ngobrol lebih lama dengannya. Tapi ya sudahlah, aku harus cukup puas dengan foto-foto yang kubidikan kepadanya. 

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar