Senin, 22 Agustus 2011

Beginilah Mereka Mengendong Bayi


Tak ada sesuatu yang berbeda dengan perempuan ini ketika masuk ke ruangan ini. Ia membawa sebuah tas, atau masyarakat setempat biasa menyebutnya noken yang disangkutkan di kepalanya. Demikianlah kebiasaan masyarakat Papua pada umumnya. Tapi kemudian ada sesuatu yang menarik hatiku untuk mengetahui apa sih yang ada dalam noken tersebut??

Teryata bukan hanya isi noken tersebut yang membuatku kaget tapi juga perempuan yang membawanya, karena teryata baru aku ketahui ada sesosok bayi mungil yang ada dalam noken tersebut. Bayi tersebut baru berusia tiga hari, tapi dia sudah di bawa kemana-mana. Termasuk juga sang ibu, yang terlihat bugar, tak nampak kalau tiga hari yang lalu dia telah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan seorang anak yang mungkin saja tanpa bantuan siapapun, apalagi bidan, karena kondisi desa yang sangat jauh dari pusat kota. 

Mungkin memang tidak semua noken yang ditaruh dikepala perempuan Papua itu adalah bayi, tapi memang ada beberapa diantara mereka demikianlah cara mengendong bayinya, dengan memasukannya kedalam noken. Mungkin ingin memberikan rasa hangat pada sang anak.


Ada perbedaan yang mencolok antara perempuan Papua dan perempuan dari Pulau Jawa misalnya dalam mengendong bayi. Kalau di Jawa para perempuan itu akan mengendong anaknya pakai selendang. Ada juga tradisi kalau belum 40 hari tidak akan membawanya kemana-mana, walau kebiasaan tersebut kini sudah sedikit bergeser, tapi di beberapa tempat masih ada yang memegang secara teguh.

Atau coba bandingkan bagaimana perempuan Papua ini mengendong bayinya dengan para perempuan metropolitan, sungguh sangat berbeda bukan? Perempuan di perkotaan mungkin akan menggunakan sebuah alat pengendong khusus untuk bayinya, kemudian menggunakan pendorong bayi dan lain sebagainya. Tapi alat-alat tersebut tak di kenal di sini, mereka memasukan anaknya dalam noken untuk kemudian di bawa kemana-mana.

Tentang kebiasaan untuk tidak membawa bayi kemana-mana sebelum berusia 40 hari, aku tidak tahu apakah hal tersebut berlaku disini atau tidak, tapi nampaknya tidak ada tradisi semacam itu di sini. Demikian juga dengan perempuan yang baru melahirkan, karena ia tidak ada waktu untuk istirahat, apalagi sampai cuti 3 bulan seperti pekerja kantoran. Mereka tidak mempunyai hal tersebut.

Seperti perempuan ini, setelah tiga hari ia melahirkan, ia pun sudah mulai beraktifitas kembali di sawah atau ladang untuk merawat tanamannya. Tidak ada yang mengurus katanya. Maka tak ada waktu istirahat baginya untuk sekedar mengembalikan kondisi kesehatannya.

Budaya patriarki yang masih dianut diwilayah ini menambah berat beban ganda yang harus ditanggung oleh para perempuan. Mereka tidak dapat memperhatikan kondisi kesehatannya, bahkan tubuhnya. Untuk sekedar memulihkan kesehatan pasca melahirkan pun mereka tak bisa. Banyak hal yang harus dilakukan di kebun dan ladang, karena kalau tidak demikian itu artinya keluarga tidak akan makan.


Sementara para suami lebih suka nongkrong-nongkrong saja di pinggir jalan sambil main kartu dan lain sebagainya. Walau tidak banyak memang ada juga yang membantu para perempuan di kebun, tapi itu tidak banyak. Karena para lelaki disini menganggap berkebun adalah tugas perempuan, sementara laki-laki bertugas untuk membuat pagar sekitar kebunnya. 

Kondisi yang demikian tersebut akhirnya mendorong meningkatnya kematian ibu melahirkan dan juga kasus gizi buruk. Sementara pemerintah selalu tidak mempunyai solusi untuk mengatasi berbagai kasus terkait kesehatan reproduksi perempuan.

Ketika Pikiran Buntu

Ada kalanya tiba-tiba pikiran ini benar-benar buntu, tak tahu apa yang akan dilakukan. Sejak tadi coba ketak-ketik, tapi tak juga menjadi satu deretan kata yang indah untuk kemudian disajikan. Kata-kata hanya menjadi deretan saja tak dapat diracik untuk dinikmati. Sementara sesuatu yang namanya dateline sudah mengejar dan tak mau menunggu barang sejenak.


Kembali kumainkan jari jemariku diatas keyboard,  seperti penari diatas panggung dengan liuk tubuhnya yang indah. Dan juga tata rias yang menakjubkan. Tak tertinggal tata panggung yang megah, Tapi tidak demikian dengan kata-kata yang coba aku ketik, ingin aku rangkai menjadi sebuah keindahan. Jari-jari yang menari terus saja menari tanpa menghadirkan keindahan dan juga kemegahan. Kucoba mencari inpirasi, membuka halaman demi halaman tuk mencari kata pembuka yang tepat. Tapi tetap saja, pikiran ini buntu.

Minggu, 07 Agustus 2011

Mama Agnes: Perempuan Dari Pedalaman Papua


Mama Agnes Kayame, demikianlah aku memanggilnya. Ia adalah salah seorang Kader Posyandu dari Kegouda, Paniai Barat.

Seperti perempuan di pedalaman Papua lainnya, ia juga tidak bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Perempuan ini tidak tamat SD, tapi ia berani menghentikan langkah Bapak Bupati ketika berkunjung ke kampungnya. 

“Pada bulan September, ketika Bapak Bupati sedang membagikan dana Bandes kepada kepala desa. Dari situ saya ambil kesempatan, saya terlambat datang. Kepada Bapak Bupati saya sampaikan bahwa kami dari masyarakat miskin ada usulan, bapak kalau mau dengar tunggu sebentar” demikian cerita Mama Agnes tentang bagaimana dirinya bisa menghentikan langkah Bapak Bupati yang akan segera meninggalkan tempat.   

Aku bertemu perempuan ini ketika mengadakan kunjungan ke Kabupaten Paniai, sebuah Kabupaten di Pedalaman Papua. 

Beberapa bulan setelah kunjunganku kesana, Mama Agnes pun berkesempatan datang ke Jakarta untuk menghadiri sebuah acara. Pada saat itu aku tanyakan kepadanya apakah ia masih mengingatku, dan teryata dia masih mengingat. "Iya saya ingat bapak, waktu itu kita kehujanan di danau kan ketika kembali dari Paniai Barat", demikian ungkapnya dengan logat Papuanya. 


Dalam pertemuan itu Mama Agnespun banyak bercerita tentang kondisi perempuan di daerahnya, dimana mereka jauh dari akses kesehatan dan pendidikan, tak heran kalau akhirnya kasus kematian ibu melahirkan sangat tinggi. 

Mama Agnes juga membuat gambar harapan, apa yang ia inginkan suatu kelak nanti. Maka iapun bercerita tentang apa yang dicita-citakannya.  


Dalam kesempatan itu, Mama Agnes juga tampil diatas panggung untuk menampilkan kebudayaan dari daerahnya. Dengan pakaian khas Papua, Mama Agnes dan mama-mama lainnya beryanyi dan menari menggunakan bahasa setempat.


Mama Agnes juga berkesempatan untuk tampil sendiri membacakan puisi dengan bahasa lokal.


Tak ketinggalan aku pun meminta untuk bisa berfoto bareng dirinya. 


Di hari berikutnya kami pun mengajaknya tamu-tamu terhormat yang datang dari Pedalaman Papua ini ke Kantor Pemerintahan di Jakarta dan juga tidak lupa kami mengajak mereka untuk mengunjungi Monas. Banyak canda tawa kami selama dalam bis dan sampai tempat tujuan, Banyak foto-foto menarik yang dihasilkan, diantaranya adalah yang di bawah ini.







Itulah sekelumit tentang Mama Agnes, perempuan Papua yang tangguh untuk terus berjuang demi generasi yang lebih baik.

Kamis, 04 Agustus 2011

Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka


"Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka", demikianlah salah satu judul puisi dari Sapardi Djoko Damono, yang juga di musikalisasikannya. Gak tahu kenapa aku suka saja dengan musikalisasi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, tak terkecuali Ketika Jari-Jai Bunga Terbuka. 

Tak hanya itu masih banyak puisi-puisi dia yang selalu menemaniku dan selalu kudengarkan, misalnya Aku Ingin, Hutan Itu, Di Restoran, Hujan Bulan Juli dan lain sebagainya. 

Coba simak Ketika Jari-Jari Buka Terbuka berikut ini:

Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
By. Sapardi Djoko Damono

Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
Mendadak Terasa Betapa Sengit
Cinta Kita

Cahaya Bagai Kabut Cahaya
Di Langi Menyisih Awan Hari Ini
Di Bumi Meriah Sepi Yang Purba

Ketika Kemarau
Terasa ke bulu-bulu mata
Suatu Pagi
Di Sayap Kupu-Kupu
Di Sayap Warna

Suara Burung Di Ranting Cuaca
Bulu-Bulu Cahaya
Betapa Parah Cinta Kita
Mabuk Berjalan
Diantara Bunga-Bunga Rekah
 
Nggak tahu kenapa ya, tiba-tiba saja disiang ini pada saat diriku mendnegarkan lirik itu langsung pengin menguploadnya dalam blog ini dan bisa juga dinikmati oleh kawan-kawan lainnya. 

Rabu, 03 Agustus 2011

Polisi-Polisi Penjaga Aksi

Setiap aksi turun ke jalan, maka ada juga polisi yang akan menjaga aksi tersebut. Jumlah polisi yang diturunkanyapun tergantung berapa jumlah masa yang akan turun. Hal tersebut juga terkait juga dengan perijinan sebelum aksi di gelar. Tapi terkadang terjadi jumlah polisi lebih banyak dari jumlah masa yang turun. Atau juga jumlah masa dan polisi tidak sebanding, karena masa yang turun terlalu banyak dan diluar perkiraan, hal inilah yang kemudian membuat kepolisian sedikit kelabakan dan bergegas menurunkan pasukannya.

Polisi-polisi yang datang menjaga aksi biasanya yang masih muda-muda dan kurang pengalaman. Maka dari itu ketika terjadi sesuatu mereka tidak bisa mengambil keputusan dengan tagas. Bahkan mereka menghadapi masa dengan kebrutalan.

Kehadiran mereka diaksi teryata menarik juga untuk dijadikan objek fotrografi dan hasilnya lumayan, mungkin kalau mereka suatu saat nanti pensiun dari kepolisian bisa melamar jado foto model hahaha. Mau menikmati foto-fotonya...silahkan...













Selasa, 02 Agustus 2011

Saatnya Beraksi


Hahaha beginilah penampilanku ketika harus aksi turun ke tengah jalan, dibawah terik matahari. Tapi aksi itu menjadi satu hal yang menarik, karena semangat perlawanan ada disana.

Sebenarnya kalo suruh mengingat-ingat sudah berapa kali ikut turun ke jalan, jujur lupa, mungkin karena memang sudah puluhan event diikuti untuk turun kejalan.

Terakhi aksi kapan ya??? Ah itu juga sudah lupa, tapi kalau gak salah ketika kami menduduki pintu gerbang DPR RI dan sempat berantem dengan anggota polisi yang sedang menjaga aksi tersebut karena kami ingin memblokir  jalan kalau tuntutan kami tidak ditanggapi.

Tapi untungnya hal tersebut tidak terjadi, karena apa yang kami inginkan, melalui negosiasi yang sangat alot dapat dipenuhi. Ya setelah kami mengancam ingin memblokir jalan.

O iya berbicara tentang foto diatas, dengan ikat 30%, ya itu adalah tuntutan kami ketika menjelang pemilu 2009, dimana kami menuntut keterwakilan perempuan 30% masuk dalam undang-undang. Akhirnya sih berhasil, tapi tetap saja teryata undang-undang hanya bagus di atas kertas saja, karena implementasinya tidak bisa sebagus itu. Dan hasil dari pemilu 2009, perempuan hanya 18%. Memang ada peningkatan tapi tetap saja ada penurunan kualitas.

O iya satu lagi yang menarik ketika aks, yaitu bisa memotret berbagai ekpresi orang, mungkin hasil-hasil potret ekspresi-ekspresi itu layak juga untuk di tampilkan disini, seperti foto diriku tentu saja.

Senin, 01 Agustus 2011

Dari Atas Awan Aku Melihatnya

Penerbangan dengan menggunakan pesawat kecil memang sedikit menakutkan. Tapi diantara rasa takut itu juga ada pengalaman tersendiri yang aku alami. Pesawat yang terbang rendah itu membuat kita bisa menikmati pemandangan yang ada di bawahnya. Wuih sungguh menarik dan menghilangkan rasa takut. Tak ingin cepat-cepat pesawat turun, walau masih tetap ada rasa takut karena ketika pesawat jatuh akankah ada yang menemukannya? Dalam rimba raya yang masih belum terjamah?

Rasa takut semakin mencekam ketika hujan tiba-tiba turun dan kita berada dalam awan hitam itu. "Hanya Tuhan yang tahu tentang keselamatan kita", demikian bapak pilot memberitahukan kepada kami ketika hujan itu turun. "Berdoalah kita akan tiba dengan selamat", demikian lanjutnya.

Dan karena ia pilot yang sudah berpengalaman, dan sudah puluhan kali atau bahkan ratusan mungkin melalui rute tersebut akhirnya kami tiba dengan selamat dengan penuh kebahagian.

Pemandangan indah dari atas awan ini menjadi satu oleh-oleh dan pengalaman yang indah untuk dibagikan kepada banyak orang.














Jalan Itu


Setiap jalan mempunyai tujuannya masing-masing. Jadi ikutilah, biarkan ia membawa kita menuju titik akhir, yang kadang kita tak tahu dimanakah titik akhir itu. Jalan itu kadang berliku, tapi kadang juga penuh terjal dan jurang. Walau demikian semua mempunyai tujuan, seperti hidup ini juga mempunyai tujuan. Bagai air yang mengalir dia akan mempunyai muara, demikian juga dengan jalan yang kita lalui. 

Walau penuh terjal berliku tapi terkadang memberi  keindahan tersendiri bagi hidup. Disitu kesabaran kita diuji. Sampai mana kita mampu bersabar menghadapi jalan yang penuh liku dan terjal.