Malam baru saja melewati separuh waktunya
ketika suara itu membangunkanku dari tidur lelap. Bahkan ayam jantan pun belum
berkokok ketika ia mengoncangkan tubuhku untuk segera bangun. Ia segera
menghidupkan lampu berharap aku segera beranjak ke kamar mandi. Diapun pergi
terlebih dahulu ke kamar mandi ketika aku tak juga bergerak dari tidurku.
“Bangun oey...!!” demikian teriaknya sesaat
setelah keluar dari kamar mandi, ketika melihatku masih bermalas-malasan d atas
tempat tidur.
Akupun segera melirik jam di hp-ku. Waktu baru
menunjukan angka 4 dini hari. Tapi aku tidak bisa lebih lama bermalas-masalan.
Hari ini petualangan akan segera dimulai.
Aku segera bergegas ke kamar mandi. Air dingin
segera menguyur sekujur tubuhku. Kesegaran segera menghilangkan seluruh kantuk
yang belum juga mau pergi. Aku tak bisa berlama-lama menikmati guyuran air
ditubuhku, karena aku harus segera pergi memulai petualangan yang memang sudah
direncanakan.
Kendaraan kami segera menembus kesunyiaan pagi
hari. Memberi irama yang tak pasti. Roda-roda bergerak diatas aspal yang
berlobang. Melaju dalam kecepatan yang maksimal.
Ya pagi ini petualangan segera dimulai. Tujuan
pertama adalah Pantai Sanur. Di pantai ini kami berharap bisa menikmati
sunrise. Saat-saat matahari terbit. Saat semburat jingga berubah menjadi emas.
Saat segala kehidupan dimulai.
Dalam kesunyian malam, kami terus melaju.
Sesekali ada kendaraan di sebelah kami. Ya Bali memang hampir mirip Jakarta,
kota yang tak pernah mati dengan segala kesibukannya.
Kami terus melaju menuju Pantai Sanur dalam
kensunyian. Kesunyian kota dewata. Kesunyian pulau tempat bersemayamnya pra
hyang widhi. Kesunyian pulau impian turis-turis mancanegara.
Tak perlu banyak waktu, dalam hitungan menit
kamipun segera sampai pada tempat tujuan. Segera kami memakirkan motor diantara
puluhan motor yang ada. Tak ada seorangpun yang kami temui, tapi puluhan motor
telah terpakir dengan rapi disitu. Satu pertanyaan yang muncul “Kemana para
pemilik motor itu?”
Teryata kami tidak sendiri. Setelah berjalan
beberapa saat kami menemukan seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk
sendiri. Ia sedang menunggu kapal pertama yang akan membawanya ke Nusa
Lembogan. Informasi itu kami peroleh beberapa saat setelah kami ngobrol dalam
deburan ombak yang datang silih berganti.
Ia baru kembali dari Lombok. Kapal yang
membawanya baru datang semalam. Ia harus menunggu kapal pertama agar dia bisa
cepat sampai tujuan. Ia juga mengira bahwa kami juga sepertinya, menunggu kapal
pertama untuk menuju ke Nusa Lembongan.
Kami tak begitu lama berbincang dengannya.
Sesaat ketika dikejauhan sana terlihat nyala api, kami pun segera mendekatinya.
Berharap ada kehangan di sana. Nyala api tersebut teryata datang dari sebuah
warung yang sedang bersiap untuk buka. Kami pun segera mendekatinya. Berharap
ada sajian makanan yang bisa kami santap. Tak salah, kamipun mendapatkan
makanan yang siap dinikmati. Nasi Jinggo namanya. Hampir sama dengan Sego
Kucing di Jogja, hanya beda namanya saja. Aku segera mengambil satu dan
menyantapnya. “Teh manis hangat ya bli” demikian pesanku sambil menikmati nasi
jinggo
Tak lama berselang datang dua orang. Mungkin
mereka sepasang kekasih. Aku tak tahu. Aku hanya menduga-duga saja. Mereka pun
segera memesan makanan. Si lelaki juga mencoba menikmati nasi jinggo seperti
aku.
Mereka berdua segera menghabiskan makanannya.
Sepertinya mereka juga sedang menunggu kapal pertama yang akan membawanya ke
Nusa Lembongan, seperti bapak yang pertama tadi aku temui. Tapi sekali lagi,
ini hanyalah dugaanku.
Setelah mereka pergi datang pula segerombolan
pemuda. Mereka pun juga menikmati makanan yang sudah disediakan. Hikmah buka
duluan ini, kataku dalam hati.
Kamipun segera menghabiskan makanan dan segera
membayarnya. Kami beranjak menuju di tepi laut, menunggu matahari yang akan
segera muncul. Pada saat itu baru kami sadari kami tidak sendiri, banyak orang
yang seperti kami, ingin menikmati saat-saat indah kemunculan matahari.
Dengan harap-harap cemas kami terus menunggu
matahari segera muncul. Beberapa kali aku mencoba untuk menjepretkan kamera ke
arah matahari yang akan muncul. Hasilnya nihil. Masih terlalu gelap. Aku harus
sabar menunggu hingga semburat jingga berubah jadi emas.
Satu persatu orang pun mulai berdatangan.
Beberapa dari mereka mulai bergaya baik dengan hp ataupun dengan kamera
seadanya. Tapi ada juga diantara mereka yang benar-benar niat ingin hunting
foto disini, terlihat dengan peralatan yang di bawanya.
Disisi lain, ada segerombolan bapak-bapak yang
sudah separuh baya berenang dalam dinginnya air. “mereka sedang terapi”
demikiaan kata temanku.
Gerombolan bapak-bapak yang sedang terapi air
laut di pagi hari itu makin lama makin bertambah, seiring dengan bertambahnya
pengunjung pantai ini. Matahari pun semakin menampakan dirinya. Akupun segera
berburu, mencari angel yang tempat untuk menghasilkan foto yang maksimal. Tak
lupa aku juga berpose dengan berbagai gaya. Paling tidak untuk profil picture di
facebook, demikian pikirku.
Kami pun terus menyusuri pantai, mencari
lokasi yang tepat untuk gambar yang indah pula. Mencoba berkejaran dengan waktu
dan juga ombak. Sayang, awan hitam menutupi matahari yang ingin bersinar.
Alhasil kamipun tidak terlalu mendapatkan foto yang maksimal. Tapi kami puas,
bisa menikmati pagi di pantai sanur.
Kapal-kapal yang sedang bersandar, dimainkan
oleh ombak, menjadi satu objek yang menarik. Di antaranya matahari tengah
bersinar.
Kami tak punya waktu lama, kamipun harus
segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Maka ketika matahari sudah hampir
beranjak, kami segera meninggalkan pantai ini, berharap suatu saat dapat
kembali lagi. Dapat menikmati waktu lebih lama. Dapat bermain ombak sepuasnya.
Harapan itu akan selalu ada.