Kamis, 26 Mei 2011

TKW: Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan Negara

Memangnya jadi TKW itu cita-citamu? Mentang-mentang sebutannya pahlawan devisa terus kamu dihargai sama negara?

Dialog kritis dan tajam ini terjadi di penampungan calon TKW yang merupakan adegan pembuka film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini mengkisahkan sebagian kehidupan lebih dari 8 juta TKW yang bekerja di luar negeri. Meskipun mereka menyumbang penerimaan devisa negara lebih dari 6 milyar dolar dan disebut sebagai pahlawan devisa, namun kehidupannya sangat tragis.  Sayangnya, tidak semua calon TKW berpikiran kritis melihat sesuatu yang terjadi.

Menjadi seorang TKW mungkin memang bukan cita-cita sebagian besar perempuan Indonesia, yang mengadu nasibnya ke negera orang. Apalagi terpikir sebelumnya, bahwa ia akan tinggal jauh dari keluarga, bahkan meninggalkan anak-anak yang masih balita. Ketika lapangan kerja sudah tidak bisa didapat dan himpitan ekonomi terus menekan, tak ada pilihan, hidup jauh di negara orang akhirnya harus dijalani.

Sering sesuatu yang telah menjadi pilihan itu tak memberikan banyak pilihan karena lapangan kerja yang tersedia hanyalah di sektor informal atau domestik, yakni menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal tersebut seakan-akan memberikan penegasan bahwa ruang domestik adalah ruang bagi perempuan dan publik adalah ruang bagi laki-laki.

Seperti yang dialami Mayang, tokoh utama di film Minggu Pagi di Victoria Park. Bekerja di Hong Kong, memang bukan pilihannya, namun dia terpaksa pergi ke Hong Kong atas desakan bapaknya. Tanpa sepengetahuannya, bapaknya sudah mendaftarkan dia untuk bekerja di luar negeri.

Dua tahun sebelumnya, Sekar, adiknya juga telah pergi ke Hong Kong, dia rajin mengirimkan uang sehingga bapaknya bisa membuat rumahnya bagus, bisa beli kulkas, bisa kredit sepeda motor dan lain sebagainya. Keberhasilan Sekar menjadi kebanggan tersendiri bagi bapaknya, yang akhirnya memandang sinis pekerjaan sebagai buruh pabrik tebu yang telah bertahun-tahun Mayang jalani. “Pirang-pirang tahun kerjo ning kebon tebu gak ono hasile, seje karo Sekar, baru beberapa bulan kerja sudah bisa bikin rumahku bagus, aku iso tuku kulkas, kredit sepeda motor, ternak kambing”, demikian katanya.

Sementara, ibunya, sosok perempuan desa yang harus selalu nurut terhadap suami dan tidak bisa ikut mengambil keputusan dalam rumah tangga. Walaupun dia tidak setuju, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Segala keputusan yang diambil oleh suaminya harus dilaksanakan, tidak boleh diganggu gugat.

Persoalan yang dihadapi oleh ibunya Mayang adalah gambaran bagaimana perempuan di pedesaan masih sangat lemah dan tidak bisa ikut mengambil keputusan. Dari kecil perempuan selalu harus nurut terhadap bapaknya, ketika sudah bekeluarga, dia pun harus patuh dengan suaminya. Hal tersebut yang kemudian menjadikan peran perempuan di ruang publik tidak ada. Bisa dibayangkan, dalam tataran rumah tangga saja dia tidak diberi hak untuk mengeluarkan pendapat, lantas bagaimana dengan tataran yang lebih luas, tingkat masyarakat?

Masih lemahnya posisi perempuan baik di keluarga, komunitas maupun masyarakat menjadikan posisi perempuan rentan. Perempuan sering dianggap tidak punya hak atas dirinya, dia tidak bisa mengambil keputusan bahkan untuk tubuhnya sendiri.

Kasus yang dialami Mayang, mungkin juga dialami oleh perempuan-perempuan lain yang berada di luar negeri, mereka berada di sana bukan atas kehendaknya, melainkan atas keinginan orang-orang terdekatnya. Lebih tragis lagi, beberapa orang dari mereka mungkin adalah korban trafficking. 

Saat ini, Tenaga Kerja Indonesia tersebar di 30 Negara. Mereka menyumbang pemasukan bagi negara totalnya, tahun 2009, sekitar U$ 6.615.719.900,56. Sementara itu, 97,2% TKI di luar negeri adalah perempuan. Jika separuhnya adalah ibu rumah tangga yang memiliki 2 orang anak, maka ada sekitar 8,5 juta anak Indonesia yang tidak merasakan dekapan ibunya selama bertahun-tahun. Dan ada 66% TKI di luar negeri yang bekerja di sektor informal. Nyaris semuanya perempuan yang bekerja sebagai PRT.

Sebutan sebagai pahlawan devisa tidak diiringi dengan perlindungan hukum bagi mereka. Dialog-dialog kritis yang dikemas ringan sering terjadi dalam film ini. Misalnya, ketika Mayang dan Sari, dua orang tenaga kerja wanita asal Indonesia sama-sama pergi mengantarkan anak majikannya sekolah, mereka membicarakan mengenai sebutan pahlawan devisa bagi mereka.

“Orang-orang asyik namain kita macam-macam, kayak mereka yang paling tahu artinya. Mereka berkoar-koar tentang kita, tapi tidak pernah ngelakuin apa-apa juga, padahal mereka yang makan duit kita yang kita kasih ke negara ya lewat devisa itu tadi”, ungkap Sari dengan nada kesal, karena minimnya  perlindungan yang diberikan negara terhadap warganya, yang bekerja di negara orang.

Victoria Park yang menjadi judul dari film ini adalah salah satu wilayah di Hong Kong, di mana setiap hari minggu--ketika tenaga kerja wanita dibebastugaskan--mereka berkumpul dan bercengkrama di tempat itu. Pekerja di Hong Kong mungkin lebih beruntung bila dibandingkan dengan pekerja di negara lain, misalnya di Arab Saudi atau di Malaysia, karena di Hong Kong setiap hari minggu mereka mendapatkan libur, sementara di negara lain hal tersebut masih diperjuangkan.

Di samping itu, kehidupan glamour yang sangat mengoda, dengan beaya tinggi menjadi satu daya tarik tersendiri bagi TKW. Ingin merasakan kehidupan mewah di negeri orang menjadi cita-cita yang akhirnya muncul. Namun sebagai TKW, sering mereka terikat kontrak tidak menerima gaji selama 7 bulan pertama. Berpikir bahwa setelah itu akan mendapatkan gaji yang lumayan besar, maka meminjam uang di super kredit misalnya, menjadi pilihan. Padahal meminjam uang di tempat seperti itu dikenakan bunga yang sangat besar, bahkan ketika seseorang tak dapat membayarkannya hutangnya, bunganya lebih tinggi dari hutangnya.

Hal itu yang dialami oleh Sekar. Untuk membahagiakan kedua orang tuanya, ia rajin mengirimkan uang ke kampung halamannya, yang akhirnya membuatnya terjerat dalam lingkaran hutang. Dia pun tidak bisa meninggalkan Hong Kong karena  paspornya dipegang oleh pihak pemberi hutang. Kerja serabutan, seperti mencuci piring, mengantarkan orang tua jalan-jalan, bahkan menjadi pelacur, adalah pekerjaan yang terpaksa harus jalankan. Walaupun begitu, dia tetap tidak dapat membayar hutangnya, karena bunganya sangat tinggi.

Mayang mungkin salah satu TKW yang beruntung, karena dia mendapatkan majikan yang sangat baik. Film ini memang tidak mengungkap tentang kekerasan yang sering dialami TKW. Film ini memberikan gambaran bahwa tidak semua TKW menderita, ada TKW-TKW yang sukses dan mendapatkan majikan yang sangat baik.

Namun sebagai pekerja rumah tangga, yang tinggal dalam lingkup domestik, ketakutan-ketakutan itu tentu ada. Seperti salah satu adegan, ketika majikan laki-lakinya pulang mendadak pada siang hari, dimana saat itu tidak ada orang lain selain dirinya, rasa cemas akan terjadi sesuatu menghantuinya. Sehingga, ketika bekerja pun dihantui rasa tidak aman. Hal tersebut sering dialami oleh TKW-TKW lainnya, dimana di dalam rumah majikannya mereka tidak mempunyai posisi tawar, sehingga ketika terjadi sesuatu, seperti kekerasan ataupun pelecehan seksual hingga perkosaan, mereka tidak bisa berbuat banyak.

Selain masalah terjerat hutang, oleh super kredit misalnya, para TKW juga sering dimanfaatkan oleh laki-laki. Mereka diminta untuk memenuhi kebutuhan sang pacar dan menjadi mesin pencetak uang bagi sang pacar. Seperti yang dialami oleh Sari, ia dimanfaatkan oleh pacarnya dengan harus membelikan barang-barang dengan harga mahal. Sementara, sang pacar tidak benar-benar mencintainya dia hanya menginginkan uangnya.

Sari baru tersadarkan akan hal tersebut setelah dia mendapatkan kekerasan dari pacarnya. Ternyata, apa yang selama ini ia lakukan, pengorbanannya tidak berarti apa-apa.

Dalam film ini, penonton disajikan tata sinematografi yang cukup menarik mengenai lingkungan sekitar Hong Kong yang memberikan tambahan mengenai bagaimana kehidupan para TKW kita di negara orang. *****(JK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar